Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Swaraguna - Saya Yuyun, 14 tahun, siswi kelas 2 SMP 5 Satu
Atap di Padang Ulak Tanding, Rejang Lebong, Bengkulu. Tadi di sekolah
ada kegiatan Pramuka, makanya saya memakai seragam cokelat. Seragam Pramuka saya mungkin tidak sebersih seragam kamu saat sekolah.
Maklum saya gadis desa yang akrab dengan getah pohon dan debu. Tapi saya
bangga menggenakannya. Saya juga bangga menjadi siswi, bersekolah
bersama teman-teman. Bagi saya belajar adalah bagian dari perjalanan
saya untuk mengenal dunia. Mencerucup ilmu pengetahuan adalah bekal saya
untuk masa depan.
Meski hidup di desa, di pelosok pulau
Sumatera, saya juga punya cita-cita. Saya juga punya harapan untuk masa
depan. Sama seperti anak-anak lain. Sama seperti putra dan putri bapak
dan ibu. Bukankah itu yang diajarkan, bahwa setiap anak harus
menggantungkan cita-citanya setinggi langit?
Sore itu udara panas
ketika saya melewati areal perkebunan sepulang sekolah. Hujan memang
sudah lama tidak turun. Meski sedikit haus, tapi saya harus cepat
pulang. Seperti biasa, saya hanya berjalan kaki, Menusuri tanah desa
kami. Saya ingin cepat sampai di rumah, melepaskan lelah setelah
berjalan cukup jauh, dan berkumpul bersama keluarga.
Saya memang
tidak pernah diantar-jemput ke sekolah. Di desa kami, yang jauh dari
keriuhan kota, berjalan kaki adalah kebiasaan. Adakah yang lebih indah
bagi kami, selain menusuri jalan-jalan kecil desa? Menikmati sepinya
suasana sambil bernyanyi kecil. Membayangkan sendau gurau teman-teman di
sekolah tadi pagi.
Di sebuah tikungan, di areal yang sepi saya
berjumpa beberapa teman lelaki. Mereka menghampiri saya. Saya kenal
salah satunya. Dia adalah kakak kelas. Mereka mengajak saya bergabung
duduk di sana, tapi saya menolak. Saya ingin cepat pulang. Saya juga
tidak suka dengan bau mulut mereka. Bau arak menguap, seperti kecoa yang
keluar dari got. Juga biji mata yang semerah saga.
Tapi mereka
tidak suka ditolak. Satu orang menarik tangan saya dengan kasar. Saya
menepisnya. Tiba-tiba dari belakang, seorang yang lain menyergap.
Membekap mulut saya, menghalangi suara teriakan. Saya hampir kehabisan
nafas. Salah satu dari mereka memukul dengan keras. Saya
terhuyung. Pandangan menjadi gelap. Yang lain membawa tali, mengikat
tangan saya. Sambil terus meronta, saya berusaha melepaskan diri. Tapi
tenaga mereka seperti banteng. Ke 14 lelaki itu, yang sebagian juga
mengenal saya, telah memperlakukan saya seperti binatang. Saya dibanting
dengan keras ke tanah, disusupkan diantara pepohonan.
Mereka
menarik seragam Pramuka saya. Robek, Rok cokelat tua dikoyak. Saya
menjerit, tapi bekapan tangan mereka begitu kuat. Lalu dengan paksa
mereka memperkosa saya. Saat itu, di tengah himpitan kebejatan, saya
hanya bisa merintih. Mulut saya tidak henti-hentinya memanggil ibu. Saya
berharap dia mendengar rintihan putrinya.
Ibu, inilah putri
kecilmu. Dikangkangi gerombolan binatang dengan mulut bau arak dan nafsu
luber di kepala. Ibu inilah putrimu merintih menahan perih. Perih pada
tubuhku. Pedih pada jiwaku. Mereka menyiksaku. Merusak kehormatanku
beramai-ramai. Memukuli tubuhku dengan tangan dan kayu. Ibu inilah putri
yang engkau lahirkan, yang engkau rawat dan sekolahkan. Diperlakukan
dengan bengis, disusupkan diantara ilalang, diikat seperti binatang. Ibu
ini Yuyun. Yuyun sendirian menghadapi kebuasan iblis yang menjelma
manusia. Ibu...
Tapi mereka terus menyerang kewanitaanku. 14
orang secara bergantian. Saya rasa sekeji-kejinya binatang tidak ada
yang memperlakukan mahluk seperti itu. Hanya rasa perih yang terasa,
Setiap saat semakin perih. Saya menjerit. Tapi suara sudah habis.
Jeritan saya disusul pukulan kayu ke kepala. Semuanya gelap.
Dalam gelap saya terbayang wajah sedih ibu. Air matanya meleleh.
Melintas kemurungan di wajah bapak. Urat mukanya tegang. Saya ingin
memeluknya. Ingin mengadu pada mereka. Tapi suasana semakin gelap. Saya
tidak lagi merasa sakit. Setelah puncak rasa sakit, yang ada hanyalah
kekosongan.
Tubuh saya ringsek. Seragam Pramuka yang hanya
satu-satunya itu terkoyak. Kasian ibu, dia harus membelikan seragam
Pramuka yang baru. Maafkan saya, ibu. Kebengisan ini telah merusak
seragam Pramukaku. Maafkan aku bapak, pukulan kayu di kepalaku telah
memisahkan kita untuk selamanya.
Nama saya Yuyun. Siswi kelas 2
SMP 5 Satu Atap, Padang Ulak Tanding, Rejang Lebang, Bengkulu. Saya juga
punya cita-cita, sama seperti anak bapak dan ibu. Kini cita-cita itu
tanggal. Saya hanya tinggal jasad, menggenakan seragam Pramuka yag
koyak, ditemukan terikat di dasar jurang.
Tidak ada komentar